Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka tepat berusia sepuluh tahun Sabtu kemarin (15/8). Meski demikian, dokumen yang menandai kembalinya perdamaian di provinsi paling barat Indonesia itu belum sepenuhnya terlaksana.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) misalnya menggarisbawahi poin 2.2 pada dokumen tersebut, bahwa pemerintah akan membentuk pengadilan hak asasi manusia di Aceh. Faktanya, kata Kepala Bidang Pemantauan Antiimpunitas Kontras, Feri Kurnia, implementasi poin itu jauh panggang dari api.
"Tahun 2013 Komnas HAM memulai penyelidikan projustisia untuk lima kasus di Aceh, tapi sampai sekarang penyelidikan belum selesai. Akhirnya jarak antara korban dan harapan atas terwujudnya hak-hak mereka semakin jauh," kata Feri di Jakarta.
Lima kasus yang diselidiki Komnas HAM di Aceh adalah peristiwa Rumah Gedong di Pidie (tahun 1998), peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara (1999), peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur (2001), kasus penghilangan paksa di Bener Meriah (2001) dan peristiwa Jambu Keupok (2003).
"Kapasitas dan kredibilitas penyelidik Komnas HAM sangat mengecewakan padahal banyak bukti pendukung atas kelima kasus itu," ucap Feri.
Komisioner Komnas HAM Otto Nur Abdullah membenarkan penyelidikan yang dilakukan timnya tak kunjung usai. Kepada CNN Indonesia, Otto menuturkan empat kasus Aceh, kecuali peristiwa Bumi Flora, saat ini terhenti di tahap pembuatan berkas acara penyelidikan untuk saksi pelaku.
Terhentinya proses penyelidikan tersebut, menurut Otto, berada di luar kendali tim khusus Komnas HAM yang dipimpinnya. Saksi pelapor seperti mantan Panglima ABRI Wiranto yang pada awal reformasi juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, enggan memenuhi dua panggilan pemeriksaan.
"(Berhenti di) tahap kedua BAP (Berita Acara Pemeriksaan), yaitu pemanggilan saksi yang berkaitan dengan pelaku, misalnya Wiranto. Terakhir memanggil saksi pelaku untuk Simpang KAA, tapi semua yang dipanggil tidak datang," ujar Otto.
Otto mengatakan usaha timnya tidak berhenti pada tahap mengirimkan surat panggilan pemeriksaan. Tahun ini tim khusus itu mengajukan permohonan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar para saksi pelaku tersebut dapat dipanggil secara paksa.
"Tapi permohonan itu tidak dikabulkan," ujar Otto.
Tanpa tenggat waktu
Tim penyelidik Komnas HAM tak hanya kesulitan menghadirkan saksi pelaku ke meja pemeriksaan. Mereka juga tak dapat melacak siapa-siapa saja pejabat sipil maupun militer yang bertugas saat lima kasus pelanggaran HAM itu terjadi.
Pelbagai hambatan ini akhirnya membuat Otto dan timnya tak menentukan target waktu penyelesaian penyelidikan.
"Kami mencari lurah, tanya ke warga berada di mana dia sekarang, tidak ada yang tahu. Siapa Komandan Koramil juga tidak ada yang tidak tahu. Siapa komandan BKO (Bawah Kendali Operasi) di Bakongan, Aceh Selatan, saat itu pun tidak ada tahu," kata Otto.
Komnas HAM bahkan telah mengirimkan surat ke Markas Besar TNI untuk melacak pejabat-pejabat militer yang bertugas di Aceh ketika lima kasus HAM itu terjadi. Usaha ini pun bertepuk sebelah tangan.
Akhirnya Otto menyimpulkan kasus-kasus HAM di Aceh tidak bakal segera tuntas seperti juga yang terjadi pada perkara dugaan kejahatan Nazi terhadap etnis Yahudi pada Perang Dunia II.
"Seperti kasus Yahudi dan Nazi, ini bukan pekerjaan sehari. Mereka saja membutuhkan waktu lebih setengah abad," tuturnya.
Penyelesaian kasus HAM Aceh, menurut Otto, tergantung pada keterbukaan setiap lembaga negara yang pernah terlibat langsung pada operasi militer di wilayah itu.
Rekomendasi Jubir GAM
Ketidakpuasan atas implementasi perjanjian damai GAM-pemerintah RI juga dikemukakan Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka, Bakhtiar Abdullah, yang ikut dalam tim perunding MoU Helsinki.
“Banyak usaha telah dilakukan, tetapi masih banyak butir MoU Helsinki yang masih di atas kertas tanpa ada perkembangan seperti yang diharapkan oleh rakyat Aceh,” kata Bakhtiar dalam keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia.
Oleh sebab itu pengawal pendiri GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro itu mengajak rakyat Aceh mengevaluasi dan mencari solusi agar seluruh butir kesepakatan yang telah tertera dalam MoU dapat dilaksanakan sesegera mungkin.
Bakhtiar lantas merekomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah RI untuk mengoptimalkan implementasi MoU Helsinki, yakni:
1. Merevisi beberapa poin dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh 2006 yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki untuk melancarkan situasi ekonomi, sosial dan politik Aceh.
2. Meningkatkan proses reintegrasi untuk menampung mantan-mantan kombatan GAM guna melenyapkan konflik horizontal. Untuk itu organisasi Ad Hoc Komite Peralihan Aceh (KPA) jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
3. Joint Claim Settlement (JCS) untuk menampung korban-korban konflik harus lebih fokus, teratur, dan tepat sasaran.
4. Memprioritaskan program-program ekonomi yang pro-rakyat supaya masyarakat Aceh bisa mandiri dan perekonomian Aceh meningkat.
5. Proses terkait KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) serta hak asasi manusia perlu segera dimulai di Aceh.
6. Melibatkan ulama, umara, tokoh-tokoh masyarakat, dan akademisi untuk mendapat masukan menyeluruh demi kemaslahatan umat Islam Aceh.
Sumber : cnnindonesia.com
0 komentar:
Post a Comment