Wednesday, December 30, 2020

12:56 AM




Beberapa hari sebelum HUT ke-44 GAM pada 4 Desember 2020, kami telah mengumumkan penempatan pasukan TNI ke Banda Aceh.


Untuk mengantisipasi penghentian pengibaran bendera Aceh yang disahkan oleh DPRD Aceh sesuai dengan Qanun (Anggaran Rumah Tangga) yang diijinkan berdasarkan MoU:


Angka 1.1.5 Aceh berhak menggunakan lambang daerah termasuk bendera, lambang dan himne.


Perayaan tersebut diintervensi oleh TNI dan Polri untuk menghentikan warga sipil Aceh di beberapa instansi setempat. Bahkan mantan kombatan GAM dicegah masuk ke makam pemimpin kita almarhum Tengku Hasan Muhammad di Tiro, di Mureue pada awal pertemuan.


Aspirasi masyarakat Aceh hanya untuk merayakan hari bersejarah dengan damai dan menuntut implementasi penuh MoU selama 15 tahun terakhir. Meski tidak ada korban jiwa, yang menunjukkan komitmen GAM untuk perdamaian, kami tetap memperhatikan pembangunan di lapangan.


Dilaporkan bahwa bataljon baru telah dibentuk di seluruh Aceh tanpa pengawasan dari komunitas internasional. Hal tersebut diatur dalam MoU:


Angka 4.7 Jumlah pasukan organik militer yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700. Jumlah pasukan organik polisi yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9100.


Butir 4.8 Tidak akan ada pergerakan besar-besaran kekuatan militer setelah penandatanganan MoU ini. Semua pergerakan lebih dari satu ukuran peleton akan membutuhkan pemberitahuan sebelumnya kepada Kepala Misi Pemantauan.


Bakhtiar Abdullah Juru bicara GAM Mengatakan, Sejak Misi Pemantauan Aceh mundur dari Aceh pada tahun 2006, belum ada mekanisme dalam memantau dan menangani masalah keamanan tersebut.


Selain itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) pada hari Jumat tanggal 11 Desember melancarkan latihan militer di Kuala Cangkoi, Aceh Utara di depan masyarakat sipil setempat. latihan-menembak-di-pantai-kuala-cangkoi-aceh-utara)


Tindakan provokatif ini merupakan unjuk kekuatan dan intimidasi kepada masyarakat Aceh yang tidak pernah melupakan pengalaman mengerikan selama konflik bersenjata. TNI menunjukkan bahwa mereka mampu menumpas setiap pemberontak di Aceh. Itu juga melanggar kesepakatan damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2015 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia (RI) dalam mengakhiri konflik bersenjata antara kedua pihak selama hampir tiga dekade. Hal tersebut tertuang dalam MoU,


Butir 4.10 Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dan ketertiban internal di Aceh.


Butir 4.11 Aparat militer bertanggung jawab menegakkan pertahanan luar Aceh. Dalam keadaan masa damai yang normal, hanya pasukan militer organik yang akan hadir di Aceh.


Kami dengan hormat menghimbau kepada dunia internasional, khususnya CMI dan UE untuk terus memantau dan berbagi tanggung jawab membantu masyarakat Aceh dalam memperjuangkan kehidupan yang bermartabat sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia dalam situasi pandemi dunia yang sulit ini.


Sumber dalam bahasa english /informasi-gam

0 komentar:

Post a Comment