Tuesday, August 11, 2015

1:49 PM
Maraknya kekerasan di Aceh sejak awal terjadi, tidak menjadi perhatian serius penegak hukum. Banyak kasus penculikan, penembakan, tidak diikuti proses hukum yang tegas. Kekerasan ini semakin menjadi-jadi, setelah dua orang anggota kodim Aceh Utara tewas tertembak. 

Menurut polisi yang melakukan penyelidikan atas kejadian tersebut, motifnya hanyalah kejahatan biasa, diperkirakan masalah perselisihan tentang ladang ganja. 

Namun tanpa peduli dengan motif atau penyebab awal dari kejadian itu, TNI langsung menjadikan kematian dua orang anggota intel Kodim ini sebagai pintu masuk untuk melakukan operasi besar-besaran di Nisam dan di berbagai daerah lain di Aceh. 

Nurdin Ismail alias Din Minimi yang dituduh sebagai otak pembunuhan, langsung menjadi alasan untuk membenarkan tentara melakukan pembalasan. Operasi yang dilakukan TNI tidak transparan dan tidak disampaikan ke muka publik. 

Dengan demikian, tidak ada yang memonitor akan kemungkinan terjadinya pelanggatan HAM oleh TNI. Tidak ada jaminan, bahwa semua korban yang tewas adalah yang benar-benar bersalah. Harusnya, untuk Aceh pasca damai, Polri wajib berdiri di depan untuk menegakkan hukum. 

Namun, rentetan kekerasan yang menyebar sampai ke Gintong, Teupin Raya, Limpok dan Geunie sampai saat ini menewaskan 5 orang tersangka, hampir semua kejadian itu terjadi adalah bentrokan dengan TNI. Kalau dilihat dari hukum yang berlaku di Indonesia, tindakan tersebut sudah melanggar UU Republik Indonesia no. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 

Di dalam Ketentuan Umum disebutkan, bahwa tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. 

Yang dimaksud ancaman militer adalah yang datang dari negara asing. Sedangkan Ancaman Bersenjata adalah ancaman yang datangnya dari gerakan kekuatan bersenjata. Gerakan Bersenjata adalah gerakan sekelompok warga negara suatu negara yang bertindak melawan pemerintahan yang sah dengan melakukan perlawanan bersenjata. Dan di Pasal 7, Tugas Pokok TNI, diantaranya disebutkan bahwa selain Operasi Militer untuk perang, ada Operasi Militer selain perang, yaitu antara lain untuk: 

1. mengatasi gerakan separatis bersenjata; 
2. mengatasi pemberontakan bersenjata; 
3. mengatasi aksi terorisme; 

Dalam kasus kejadian di Aceh saat ini, tidak ada satu pun indikator yang menunjukkan bahwa kelompok Din Minimi yang dicari-cari itu sebagai gerakan separatis, melakukan pemberontakan dan terlibat terorisme. Teror dan kekerasan yang mereka lakukan adalah kejahatan yang masih menjadi wewenang Polri untuk menegakkan hukum. 

Dengan demikian, Polri harus tetap di depan, dan TNI tidak serta merta berhak mengobok-obok Aceh hanya dengan alasan mencari pembunuh dua orang anggotanya. 

Lebih jauh lagi, keterlibatan dan operasi langsung TNI di Aceh, melanggar MoU Halsinki yang telah disepakati. MOU: 1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. 4.8. 

Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring. 4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh. 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. 

Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh. Dengan melihat UU RI dan MoU Helsinki, semua pihak harus mengontrol TNI dalam melakukan tugas mereka di Aceh. TNI harus transparan, jangan liar dan harus mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku. 27 Mei 2015. 

Saleum Damai
Member of GAM

0 komentar:

Post a Comment