Sunday, July 11, 2021

11:14 PM

 



Meninggalnya Carmel Budiarjo, pendiri TAPOL memberikan saya inspirasi tersendiri akan bagaimana menjalani kehidupan di hari tua, tentang memberi arti di usia senja.


Kontak pertama dengan beliau pada tahun 1998, setelah saya sebagai Kadiv Penerbitan & Investigasi Forum LSM Aceh melakukan investigasi dan menemukan 9 kuburan massal atau lokasi pembuangan mayat korban DOM di Pidie, Aceh Utara dan Tamiang, salah satunya berlokasi di Seureukee yang kemudian dikenal sebagai Bukit Tengkorak, penduduk setempat menyebutkan lebih 200 mayat dibuang disana.



Informasi tentang kuburan massal yang kami kirim dipublis Carmel dalam Buletin Tapol edisi September 1998. Meski penampilannya sederhana namun buletin Tapol cukup mengusik pemerintah Indonesia sejak diterbitkan pertama tahun 1973. Kekejaman pemerintah Indonesia yang dipublikasikan Carmel ke dunia internasional  membuat ia harus mendekam di penjara rezim Orde Baru selama 3 tahun tanpa proses hukum. Selain tentang Aceh, buletin Tapol juga mengungkapkan pelanggaran HAM di Tanjung Priok, Tahanan Politik 1965, Timur Leste, Papua dan lainnya.


Setelah itu Carmel dan Tapol menjadi bagian yang penting dan kami hormati dalam setiap advokasi internasional pelanggaran HAM di Aceh, kalau tak salah pernah juga mengunjungi kantor kami di Merduati. Namun sisi lain yang menarik dari Carmel adalah kemampuannya untuk tetap berkontribusi meski usianya sudah lanjut. Saat aktif mengadvokasi HAM Aceh ia berusia 75-80 dan tiga tahun sebelum meninggal yakni saat usianya 93 tahun, Carmel masih ikut dalam proses publikasi Tapol yang sudah berbasis online.


Mungkin banyak orang yang masih eksis di usia lebih 80 tahun, namun Carmel melakukannya tanpa atribut dan fasilitas macam-macam, ini yang menjadikannya lebih memungkinkan untuk ditiru.Tidak seperti NGO lain yang melaksanakan even-even besar, bantuan dana, konferensi, pameran atau publikasi skala besar, yang dilakukan Tapol hanyalah menjaga konsistensi akan kredibilitas data dan penerbitannya. Dana yang digunakan juga kemungkinan sebagian besar dari kantong Carmel sendiri. Kantornya pun hanya satu kamar dari rumahnya yang tidak bisa dikategorikan besar, di pinggiran kota London. Saat saya berkunjung pada tahun 2005  hanya Carmel sendiri yang saya temui di rumah sekaligus kantornya itu. Namun dengan fasilitas seadanya Carmel mendapatkan respek yang besar dari berbagai pihak, dia memperoleh penghargaan dunia the Right Livelihood Award, diberi gelar Tjut di Aceh, Putri Sulung Bangsa Papua juga Ordem de Timor Leste, penghargaan tertinggi dari pemerintah Timor Leste.


Selamat jalan Carmel dari kami yang turut berduka cita.

Sumber: Lukman Age

0 komentar:

Post a Comment