Banda Aceh | Mantan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), diwakili Bahtiar Abdullah dan mantan Panglima GAM yang juga Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) serta Ketua Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, meminta para pihak di Aceh dan Jakarta, untuk segera berhenti, melakukan praktik untuk mengobok-obok Aceh.
Penegasan itu disampaikan melalui siaran pers bersama, yang diterima media ini, Rabu (28/11/2018) di Banda Aceh.
“Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat damai yang telah diberikan kepada masyarakat Aceh, sehingga sudah 13 tahun, rakyat di Bumi Serambi Mekah ini, dapat menjalankan tugas dan ibadah dengan sejuk, nyaman dan aman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” begitu kalimat pembuka dari siaran pers tersebut.
Selanjutnya, Bahtiar Abdullah dan Mualem mengaku, masih dirasakan adanya pihak-pihak, yang ingin dan mencoba mengusik damai Aceh, khususnya pada aspek hukum, sehingga dinilai dapat merusak nilai dan sendi-sendi perdamaian yang telah tercipta pada, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
“Semua itu, disadari dapat menganggu proses perdamaian yang telah disepakati para pihak, antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Kondisi ini, telah menimbulkan trauma hukum dan psikologis bagi rakyat Aceh, khususnya pimpinan dan mantan kombatan GAM. Namun, berkat rahmat dan perlindungan Allah SWT serta kekompakan masyarakat Aceh, hingga kini perdamaian masih kuat dan terjaga serta terawat dengan baik,” ujar mereka.
Begitupun sebut keduanya, seiring berjalannya waktu, muncul persoalan di Aceh, yang patut disikapi, demi keutuhan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersama Pemerintah Indonesia. “Itu sebabnya, kami atas nama pimpinan GAM, yang membawahi seluruh anggota GAM dan mantan kombatan GAM, melihat dan merasakan beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas dan Pemerintah Indonesia,” jelas siaran pers tersebut.
Pertama tulis siaran pers itu, kasus dugaan suap yang menimpa Gubernur Aceh non-aktif, telah menyita pikiran, tenaga, dan energi masyarakat dan Pemerintah Aceh. Ada sebagian berpendapat, penangkapan ini merupakan proses normal dalam penegakkan supremasi hukum di Indonesia. Di sisi lain atau sebagian menjadi khawatir, munculnya akibat buruk dalam karena penanganannya.
“Pada prinsipnya, pimpinan GAM sangat mendukung upaya penegakan hukum dan menghormati semua proses yang terjadi. Namun, jika dilakukan tidak dengan cara terukur, maka akan menimbul efek negatif, khususnya mengurangi kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia dan berpotensi serta dapat merusak perdamaian abadi di Aceh,” ungkapnya.
Kedua, terbangunya opini, seolah-olah pimpinan GAM gagal dalam menjalankan pemerintahan di Aceh, sebagai bagian dari amanah rakyat Aceh dan kepercayaan Pemerintah Indonesia. “Kami tegaskan, propaganda tersebut sangat kontra produktif dan sesat. Pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM, sangat mendukung dan menyatakan perang terhadap berbagai praktik korupsi di Aceh, dan siap berdiri di garda terdepan, untuk menindak berbagai praktik yang merugikan rakyat dan negara tersebut,” tulis mereka.
Selain itu, pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM, tidak pernah membela kadernya, yang patut diduga dan terlibat dalam penyelewengan keuangan negara serta daerah. “Sebaliknya, pimpinan GAM beserta jajaran di bawahnya, siap dan akan melawan dengan keras serta tegas, apabila ada upaya rekayasa untuk merusak nilai-nilai perjuangan, dengan cara mempolitisasi setiap masalah yang muncul, terutama masalah hukum”.
“Kami ingatkan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, untuk tidak terpengaruh dengan berita-berita dan informasi miring serta tidak jelas akurasi, validasi maupun nara sumbernya, yang memang dengan sengaja dihembuskan. Seolah-olah, rakyat dan pemimpin di Aceh adalah; pencuri atau perampok uang Negara,” begitu ditegaskan kembali melalui siaran pers tersebut.
Ketiga nilai mereka, pasca damai, Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karena itu, jangan sampai ada rekayasa yang memang khusus diciptakan, untuk membangun kesan serta persepsi, seolah-olah Aceh tidak berhak mendapatkan keistimewaan dan kekhususan sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh.
Keempat, tuduhan adanya gratifikasi pada kasus BPKS Sabang, patut diduga sebagai rekayasa untuk melemahkan, merusak citra serta membunuh karakter pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM. Sebab, terkait kasus ini pelakunya sudah diputuskan secara hukum dan sedang menjalani hukuman. Bahkan, dua perusahaan secara korporasi telah dinyatakan bersalah.
“Karena itu, adanya upaya untuk mencari-cari kesalahan dan memunculkan tersangka baru, merupakan pintu masuk untuk menjerat pimpinan dan mantan kombatan GAM yang lain. Jika itu terus dilakukan, kami menyatakan dengan tegas; tidak akan tinggal diam bila pimpinan dan mantan kombatan GAM diusik dan dicari-cari kesalahannya,” sebut mereka.
Kecuali itu. “Perlu diingat bahwa, perdamaian yang berakhir dengan MoU Helsinki dan UUPA, memberikan status keistimewaan dan kekhususan bagi Aceh. Semua itu didapat dengan darah dan air mata. Karena itu, apabila pemerintah berusaha memungkiri keistimewaan dan kekhususan Aceh, maka akan berakibat sangat luas dan luar biasa”.
Terakhir atau kelima. “Penegasan sikap ini perlu kami sampaikan, demi dan untuk merawat serta menjaga perdamaian di Aceh. Khususnya, memasuki tahun politik nasional yaitu; Pilpres dan Pileg 2019. Jangan sampai, pesta demokrasi tersebut, diciderai oleh oknum atau pihak tertentu, dengan mengatasnamakan; penegakkan hukum di Aceh, sehingga keamanan di Aceh tidak kondusif dan mengundang perhatian dunia Internasional,” demikian disampaikan melalui siaran pers dimaksud.
Mualem yang dikonfirmasi MODUSACEH.CO melalui pesan WhatsApp (WA) membenarkan adanya siaran pers tersebut. “Semoga menjadi pedoman untuk kita semua. Terutama dalam menjaga dan merawat perdamaian, khususnya memasuki pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019,” tegas Mualem yang mengaku sedang berada di India.
Penegasan itu disampaikan melalui siaran pers bersama, yang diterima media ini, Rabu (28/11/2018) di Banda Aceh.
“Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat damai yang telah diberikan kepada masyarakat Aceh, sehingga sudah 13 tahun, rakyat di Bumi Serambi Mekah ini, dapat menjalankan tugas dan ibadah dengan sejuk, nyaman dan aman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” begitu kalimat pembuka dari siaran pers tersebut.
Selanjutnya, Bahtiar Abdullah dan Mualem mengaku, masih dirasakan adanya pihak-pihak, yang ingin dan mencoba mengusik damai Aceh, khususnya pada aspek hukum, sehingga dinilai dapat merusak nilai dan sendi-sendi perdamaian yang telah tercipta pada, 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
“Semua itu, disadari dapat menganggu proses perdamaian yang telah disepakati para pihak, antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Kondisi ini, telah menimbulkan trauma hukum dan psikologis bagi rakyat Aceh, khususnya pimpinan dan mantan kombatan GAM. Namun, berkat rahmat dan perlindungan Allah SWT serta kekompakan masyarakat Aceh, hingga kini perdamaian masih kuat dan terjaga serta terawat dengan baik,” ujar mereka.
Begitupun sebut keduanya, seiring berjalannya waktu, muncul persoalan di Aceh, yang patut disikapi, demi keutuhan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersama Pemerintah Indonesia. “Itu sebabnya, kami atas nama pimpinan GAM, yang membawahi seluruh anggota GAM dan mantan kombatan GAM, melihat dan merasakan beberapa hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat luas dan Pemerintah Indonesia,” jelas siaran pers tersebut.
Pertama tulis siaran pers itu, kasus dugaan suap yang menimpa Gubernur Aceh non-aktif, telah menyita pikiran, tenaga, dan energi masyarakat dan Pemerintah Aceh. Ada sebagian berpendapat, penangkapan ini merupakan proses normal dalam penegakkan supremasi hukum di Indonesia. Di sisi lain atau sebagian menjadi khawatir, munculnya akibat buruk dalam karena penanganannya.
“Pada prinsipnya, pimpinan GAM sangat mendukung upaya penegakan hukum dan menghormati semua proses yang terjadi. Namun, jika dilakukan tidak dengan cara terukur, maka akan menimbul efek negatif, khususnya mengurangi kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia dan berpotensi serta dapat merusak perdamaian abadi di Aceh,” ungkapnya.
Kedua, terbangunya opini, seolah-olah pimpinan GAM gagal dalam menjalankan pemerintahan di Aceh, sebagai bagian dari amanah rakyat Aceh dan kepercayaan Pemerintah Indonesia. “Kami tegaskan, propaganda tersebut sangat kontra produktif dan sesat. Pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM, sangat mendukung dan menyatakan perang terhadap berbagai praktik korupsi di Aceh, dan siap berdiri di garda terdepan, untuk menindak berbagai praktik yang merugikan rakyat dan negara tersebut,” tulis mereka.
Selain itu, pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM, tidak pernah membela kadernya, yang patut diduga dan terlibat dalam penyelewengan keuangan negara serta daerah. “Sebaliknya, pimpinan GAM beserta jajaran di bawahnya, siap dan akan melawan dengan keras serta tegas, apabila ada upaya rekayasa untuk merusak nilai-nilai perjuangan, dengan cara mempolitisasi setiap masalah yang muncul, terutama masalah hukum”.
“Kami ingatkan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, untuk tidak terpengaruh dengan berita-berita dan informasi miring serta tidak jelas akurasi, validasi maupun nara sumbernya, yang memang dengan sengaja dihembuskan. Seolah-olah, rakyat dan pemimpin di Aceh adalah; pencuri atau perampok uang Negara,” begitu ditegaskan kembali melalui siaran pers tersebut.
Ketiga nilai mereka, pasca damai, Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karena itu, jangan sampai ada rekayasa yang memang khusus diciptakan, untuk membangun kesan serta persepsi, seolah-olah Aceh tidak berhak mendapatkan keistimewaan dan kekhususan sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh.
Keempat, tuduhan adanya gratifikasi pada kasus BPKS Sabang, patut diduga sebagai rekayasa untuk melemahkan, merusak citra serta membunuh karakter pimpinan GAM serta mantan kombatan GAM. Sebab, terkait kasus ini pelakunya sudah diputuskan secara hukum dan sedang menjalani hukuman. Bahkan, dua perusahaan secara korporasi telah dinyatakan bersalah.
“Karena itu, adanya upaya untuk mencari-cari kesalahan dan memunculkan tersangka baru, merupakan pintu masuk untuk menjerat pimpinan dan mantan kombatan GAM yang lain. Jika itu terus dilakukan, kami menyatakan dengan tegas; tidak akan tinggal diam bila pimpinan dan mantan kombatan GAM diusik dan dicari-cari kesalahannya,” sebut mereka.
Kecuali itu. “Perlu diingat bahwa, perdamaian yang berakhir dengan MoU Helsinki dan UUPA, memberikan status keistimewaan dan kekhususan bagi Aceh. Semua itu didapat dengan darah dan air mata. Karena itu, apabila pemerintah berusaha memungkiri keistimewaan dan kekhususan Aceh, maka akan berakibat sangat luas dan luar biasa”.
Terakhir atau kelima. “Penegasan sikap ini perlu kami sampaikan, demi dan untuk merawat serta menjaga perdamaian di Aceh. Khususnya, memasuki tahun politik nasional yaitu; Pilpres dan Pileg 2019. Jangan sampai, pesta demokrasi tersebut, diciderai oleh oknum atau pihak tertentu, dengan mengatasnamakan; penegakkan hukum di Aceh, sehingga keamanan di Aceh tidak kondusif dan mengundang perhatian dunia Internasional,” demikian disampaikan melalui siaran pers dimaksud.
Mualem yang dikonfirmasi MODUSACEH.CO melalui pesan WhatsApp (WA) membenarkan adanya siaran pers tersebut. “Semoga menjadi pedoman untuk kita semua. Terutama dalam menjaga dan merawat perdamaian, khususnya memasuki pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019,” tegas Mualem yang mengaku sedang berada di India.
0 komentar:
Post a Comment